Mempunyai ide atau membuat sebuah ide memang sering begitu saja muncul dalam pikiran. Tetapi untuk menuangkan ide tersebut dalam sebuah tulisan yang ternyata tidak mudah. Membuat sebuah tulisan ternyata tidak serta merta sederhana. Banyak kaidah yang harus dipikirkan. Ini mungkin yang menjadi hambatan.
Ada sebuah pendapat yang menyebutkan karena kultur pendidikan yang menjadi penyebabnya. Pendidikan formal umum yang ada di Indonesia masih sangat kental mengedepankan metode hafalan dalam setiap pembelajarannya. Siswa harus mengingat sekian banyak materi pembelajaran yang diberikan. Sayangnya, hal tersebut kurang diimbangi dengan metode eksplorasi, mandiri dalam berfikir, mengungkapkan pendapat atau juga membuat sebuah kritik yang membangun. Inilah yang kemudian banyak siswa menemukan kesulitan ketika harus berhadapan dengan tugas yang berkaitan dengan membuat tulisan, seperti karya ilmiah, pelaporan studi kasus bahkan skripsi untuk tingkat mahasiswa.
Metode hafalan, saat ini telah mulai ditinggalkan. Dalam konsep perencanaan pembelajaran, siswa harus diberikan porsi yang lebih besar untuk menemukan sendiri konsep dalam pemikirannya. Guru hanya sebagai fasilitator atau mengarahkan pada sumber belajar yang ada. Sehingga jelas sumber belajar siswa bisa menjadi sangat banyak dan bervariasi. Dari situlah siswa diharapkan memiliki konsep pemikiran yang lebih mandiri sehingga memunculkan ide-ide yang inovatif. Dan karena siswa sendiri yang menemukan ide tersebut maka mereka harus dapat mengungkapkan ide tersebut dalam sebuah diskusi ataupun tulisan. Intinya, dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada siswa mengembangkan ide dan gagasannya.
Peran guru kemudian adalah meluruskan jika memang terdapat ide atau konsep yang menyimpang dari konsep umum yang selama ini berlaku. Atau dengan cara yang lebih halus dapat bertukar pikiran untuk mengerucutkan konsep bersama-sama. Peran guru yang lainnya adalah meluruskan kaidah-kaidah dalam penyampaian pendapat baik malalui diskusi ataupun tulisan.
Jumat, 23 November 2012
Selasa, 13 November 2012
Galau?
Pilih mana ya?
1. Aturan
2. Idealisme
3. Bebas sesuai dengan pikiran sendiri.
Menyikapi perkembangan dunia pendidikan memang wajib bagi seorang guru. Mengapa? Karena perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi yang berbasis teknologi informasi sangat pesat. Bayangkan jika kita tiba-tiba terdiam tidak bisa berkata apapun melihat atau mendengan anak didik kita terjerat kasus yang sebenarnya simpel tapi bersumber dari penggunaaan media informasi yang tidak dewasa. Contoh ketika menggunakan situs jejaring sosial, atau sekedar browsing dengan leluasa di internet.
Seakan-akan terperanjat, heran, ternyata sangat bebas mereka berekspresi, bereksplorasi menggunakan media informasi. Jika sang guru tidak faham maka yang terjadi adalah serta merta menunjuk muka si anak (siswa) sebagai terdakwa. Padahal, latar belakang permasalahannya adalah berawal dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan menuntut mereka mandiri, mencari sumber informasi yang sedemikian luas dan bebas tetapi lupa dalam menerapkan etika, aturan, atau paling tidak rambu-rambu yang sebenarnya sudah akrab di telinga anak didik namun tidak dikonversi dengan baik dalam ranah dunia informasi modern. Sebagai contoh, ada rambu atau norma mengenai hal-hal yang tabu atau saru (dalam bahasa Jawa) namun tidak diterjemahkan dalam istilah modern sehingga ketika mereka bereksplorasi anggapan tabu hanya untuk dunia nyata saja, tidak masuk dalam ranah dunia maya.
Jadi, memang bereksplorasi secara luas dibutukan dalam rangka menggali sumber informasi sebanyak-banyaknya namun tetap harus mengingat aturan yang ada. Idealisme kita entah sebagai guru atau sebagai pengguna media informasi adalah mengemas kedua hal di atas dengan baik sehingga siswa tidak merasa dibatasi tetapi juga tidak kemudian merasa lepas, sebebas-bebasnya tanpa aturan, rambu, atau norma-norma kewajaran yang ada. Mari terus berkarya!
1. Aturan
2. Idealisme
3. Bebas sesuai dengan pikiran sendiri.
Menyikapi perkembangan dunia pendidikan memang wajib bagi seorang guru. Mengapa? Karena perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi yang berbasis teknologi informasi sangat pesat. Bayangkan jika kita tiba-tiba terdiam tidak bisa berkata apapun melihat atau mendengan anak didik kita terjerat kasus yang sebenarnya simpel tapi bersumber dari penggunaaan media informasi yang tidak dewasa. Contoh ketika menggunakan situs jejaring sosial, atau sekedar browsing dengan leluasa di internet.
Seakan-akan terperanjat, heran, ternyata sangat bebas mereka berekspresi, bereksplorasi menggunakan media informasi. Jika sang guru tidak faham maka yang terjadi adalah serta merta menunjuk muka si anak (siswa) sebagai terdakwa. Padahal, latar belakang permasalahannya adalah berawal dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan menuntut mereka mandiri, mencari sumber informasi yang sedemikian luas dan bebas tetapi lupa dalam menerapkan etika, aturan, atau paling tidak rambu-rambu yang sebenarnya sudah akrab di telinga anak didik namun tidak dikonversi dengan baik dalam ranah dunia informasi modern. Sebagai contoh, ada rambu atau norma mengenai hal-hal yang tabu atau saru (dalam bahasa Jawa) namun tidak diterjemahkan dalam istilah modern sehingga ketika mereka bereksplorasi anggapan tabu hanya untuk dunia nyata saja, tidak masuk dalam ranah dunia maya.
Jadi, memang bereksplorasi secara luas dibutukan dalam rangka menggali sumber informasi sebanyak-banyaknya namun tetap harus mengingat aturan yang ada. Idealisme kita entah sebagai guru atau sebagai pengguna media informasi adalah mengemas kedua hal di atas dengan baik sehingga siswa tidak merasa dibatasi tetapi juga tidak kemudian merasa lepas, sebebas-bebasnya tanpa aturan, rambu, atau norma-norma kewajaran yang ada. Mari terus berkarya!
Langganan:
Postingan (Atom)